Pemikiran Ibnu Jama'ah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini perkembangan pendidikan Islam semakin pesat, semua ini tidak
lain adalah karena berbagai konstribusi yang telah diberikan oleh para
ulma’-ulama’ terdahulu yang ikut dalam memberikan sumbangsi besar berupa konsep-konsep
yang telah ditawarkan guna menuju sebuah peradaban yang maju.
Pendidikan islam, sejak pertumbuhanya hingga
sekarang telah berlangsung selama 14 abad, yakni dimulai sejak Rasul muhamad
SAW memancangkan tonggak dakwah islamiyah setelah beliau menerima wahyu dari
allah SWT. Beliau sendiri menempatkan dirinya sebagai sumber atau referensi
pendidikan islam yang bersumber pada
al-quran dan al-hadits berkembang dinamis dari masa kemasa. berbagai pemikiran
pendidikan telah dilontarkan oleh para ahli, baik oleh ahli yang berlatar
belakang muslim atau non muslim. Dalam islam yang di sebut pendidikan islam
adalah pendidikan yang senantiasa menjadikan al-quran dan hadits sebagai
landasanya. Terhadap hal ini telah banyak pakar yang mengemukakan gagasanya di
bidang pendidikan islam termasuk diantaranya yaitu ibn jama’ah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi Ibnu Jama’ah?
2. Bagaimana konsep pemikiran pendidikan Ibnu Jama’ah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Jama’ah
2. Untuk memahami konsep pemikiran pendidikan Ibnu Jama’ah
A. Biografi Singkat Ibnu Jama’ah
1. Latar
Belakang
Nama
lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn
Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Beliau lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu,
tanggal 4 Rabi’ul Tsani, 639 H./ 1241 M.[1]
Beliau berasal dari keturunan suku Kinana Saudi
Utara. Menurut Ibn Kastir beliau wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil
‘Ula tahun 733 H./1333 M. dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian
usianya 94 tahun 1 bulan 1 hari[2].
Ibn Jama'ah berasal dari keluarga berpendidikan dan religius yang secara
konsisten berpegang pada mazhab Syafi'i. Ayahnya bernama Burhan a1-Din Abü
Ishaq Ibrahim Ibn Sa'd Allah (596-675 H./ 1200-1277 M) seorang ulama besar ahli fiqih dan
sufi. Sedangkan ibu Ibnu Jam’ah tidak banyak diketahui[3].
Pendidikan
pertama beliau di dapat dari sang ayah selain itu Ibn Jama’ah juga berguru
kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada Syaikh
as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi al-Yasr,
Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika ia di
Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik, Rasyid
at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Abi
Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa, Al-Bazaraiy dan
lain-lain.[4]
2. Profesi
Berkat
didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibn Jama’ah kemudian
menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru dakwah, penyair, ahli tafsir,
ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam bidang lainnya. Namun demikian Ibn
Jama’ah tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli hukum, yakni sebagai
hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk
melaksanakan tugasnya sebagai hakim di al-Quds, Syam tahun 687 H yakni tepatnya
pada usia 48 tahun, dan kemudian pindah ke pengadilan Mesir. Setelah
berhenti menjadi hakim di Mesir, beliau diangkat lagi pasca wafatnya Ibnu
Daqiqil ‘Ied. Pernah uzlah selama satu tahun, lalu dipilih lagi menjadi hakim.
Lantas beliau menjauh dari kehakiman dan fokus terhadap pengajaran di berbagai
madrasah yang terkenal di berbagai negara saat itu[5].
Sedangkan
menurut Musthofa, profesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas
mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga
pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damaskus dalam waktu yang cukup
lama.[6]
Dilihat
dari masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti
Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi menggantikan Dinasti
Fatimiyah pada tahun 1174 M. dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin
segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama dalm bidang fiqh
Syafi’iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah
paham Syi’ah.
Dia
mempunyai pengaruh besar tehadap ilmu-ilmu agama dan mempunyai sejumlah
pengikut serta murid-murid yang banyak jumlahnya. Sejumlah ulama yang menjadi
muridnya Ibnu Jama’ah antara lain Kammal bin Hummam, Ibnu Quzail, Syams al-Din
al-Qayati, Muhib al-Din al-Aqsara’i dan Ibnu Hajar. Ibnu Jama’ah banyak bergaul
dengan berbagai lapisan masyarakat, senang bercanda, akan tetapi tidak menyukai
bergunjing meskipun bergurau.[7]
Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga
pendidikan. diantaranya adalah:
a. Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar
yang dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis.
b. Pendidikan
istana,
yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga
istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada kemampuan anak
didik dan kehendak orang tua anak.
c. Kedai
atau toko kitab
yang fungsinya sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi
diantara pelajar.
d. Rumah
para ulama,
yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa.
e. Rumah
sakit
yang di kembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik
tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat
pengobatan.
f. Perpustakaan yang berfungsi selain tempat
menyimpan buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan
penelitian. Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah.
g. Masjid yang berfungsi selain tempat
melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan social. Selain
itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang lembaga pendidikan madrasah.
Menurut
Michael Stanton, Madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nizham
al-Muluk yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu
Richaerd Bulliet berpendapat bahwa madrasah yang pertama kali dibangun adalah
Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400
H./1009 M. bahkan menurut Bullet ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia,
Iran yang dibangun dua abad sebelum Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian,
pada masa Ibn Jama’ah lembaga pendidikan telah berkembang pesat dan telah
mengambil bentuk yang bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong
Ibn Jama’ah menjadi seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan[8].
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Ibnu Jama’ah
1. Karakteristik
pemikiran Ibnu Jama’ah
Karakteristik pemikiran pendidikan Islam yang berkembang
sangat beragam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh konstruksosial politik dan
keagamaan yang berkembang sehingga antara ciri khas sebuah pemikiran atau literature
dengan keadaan sosial ketika itu memiliki korelasi yang signifikan. Disamping
itu, situasi dan pengalaman pribadi seseorang juga turut mempengaruhi corak
literature tersebut. Hasan langgulung menggolongkan literature kependidikan
Islam ke beberapa corak:
a. Corak
pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir
dan hadits. Corak ini diwakili oleh Ibn Hazm dengan karyanya al-Mufashal fi
al-Milal wa al-Ahwa wa al-nihal.Corak pemikiran pendidikan yang bermuatan
sastra. Contohnya adalah Abdullah bin al-Muqaffa dalam karyanya Risalat
al-Shahabah.
b. Corak
pemikiran pendidikan Islam filosofis. Sebagai contoh adalah corak pendidikan
yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, dan para filosof. Beberapa filosof
yang menyediakan konsep pendidikanya dengan model ini seperti al-Kindi,
al-Faraby, Ibn Sina, Al-Ghozali dll.
c. Corak
pemikiran pendidikan Islam yang berdiri sendiri dan berlainan dari
beberapa corak diatas, tetapi tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
al-Hadits.
Corak
yang terakhir ini terlihat pada karya Muhammad bin Sahnun dan Burhanuddin
Azzarnuzy dalam karyanya Ta’limul Muta’alim.[9] Jika mengacu dengan klasifikasi
corak diatas, pemikiran pendidikan Ibn Jama’ah dalam karyanya dapat digolongkan
pada corak yang terakhir. Hal ini didasarkan atas kandungan dalam kitab
tersebut yang tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh, sastra, dan
filsafat. Namun semata-mata untuk memberi petunjuk praktis bagi siapa saja yang
terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu Ibn Jama’ah mempunyai banyak
kesamaan dengan Azzarnuzy yang mana masing-masing membahas secara khusus
ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan sejumlah ulama.
Pemikiran
lain dalam konsep pendidikan Ibn Jama’ah adalah mengetengahkan nilai-nilai
estetika yang bernafaskan sufistik. Pemikiran ini merupakan wacana umum bagi
literature-literature kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan
sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip
sufisme al-Ghozali. Terbukti bahwa konsep Ibn jama’ah ternyata banyak kesamaan
dengan konsep al-Ghozali.[10]
2. Konsep
Pendidikan Ibnu Jama’ah
Konsep
pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam
karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim.
Dalam buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan ilmu
pengetahuan dan orang yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan
Ibnu Jama’ah ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Konsep
Guru/Ulama
Menurut
Ibnu Jama’ah bahwa ulama sebagai mikrokosmos manusia dan secara umum dapat
dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik (khair al-bariyah). Atas
dasar ini, maka derajat seorang alim berada setingkat dibawah derajat Nabi. Hal
ini didasarkan pada alasan karena para ulama adalah orang yang paling takwa dan
takut kepada Allah SWT. Dari konsep tentang seorang alim tersebut, Ibnu Jama’ah
membawa konsep tentang guru. Untuk itu Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah
kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi seorang guru.
1) Menjaga
akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan.
2) Tidak
menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.
3) Mengetahui
situasi sosial kemasyarakatan.
4) Kasih
sayang dan sabar.
5) Adil
dalam memperlakukan peserta didik.
6) Menolong
dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari
keenam kriteria tersebut, yang menarik adalah kriteria tentang tidak bolehnya
profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu
konsep yang di masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri
kerja professional adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya
menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat
demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi
Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik
menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga
pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan
jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara
umum kriteria-kriteria tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan
keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga
layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.
b. Peserta
Didik
Menurut Ibnu Jama’ah pembentukan karakter
anak didik terbagi atas tiga macam, yaitu:
1) Yang berhubungan dengan diri sendiri, anak didik senantiasa
dibiasakan membersihkan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki
cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses dan berpeilaku penuh kesederhanaan
2) Yang berhubungan dengan pendidik, anak didik senantiasa dibiasakan
patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormati pendidik.
3)
Yang berhubungan
dengan pelajaran, anak didik senantiasa dibiasakan berpegang teguh secara utuh
pada pendapat pendidik, mempelajari apa yang didapat dari pendidik dengan
sungguh-sungguh dan mempraktikan ilmu yang didapat dari pendidik. [12]
Anak didik harus memiliki adab yang baik
terhadap pendidik supaya ia memiliki ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan
orang lain. [13] Menurut Ibnu Jama’ah peserta didik
yang baik adalah peserta didik yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan
untuk memilih, memutuskan dan mengusahakan tindakan-tindakan belajar secara
mandiri, baik yang berkaitan dengan aspek fisik, pikiran, sikap maupun
perbuatan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peserta didik telah melewati
masa kanak-kanak yang dalam tradisi pendidikan islam biasanya belajar di
kuttab. Ibnu jama’ah sangat mendorong para siswa agar mengembangkan kemampuan
akalnya.
Ibnu
Jama’ah mengatakan bahwa akal merupakan anugerah dari Tuhan yang sangat
istimewa dan berharga, dan oleh karenanya patut disyukuri dengan jalan
memanfaatkannya secra optimal. Atas dasar ini, maka Ibnu Jama’ah menganjurkan
agar setiap peserta didik mengembangkan daya inteleknya guna menemukan
kebenaran-kebenaran yang ada dalam kajian apapun, termasuk dalam kajian
keimanan atau ibadah. Dengan menggunakan akal tersebut, setiap siswa akan
menemukan hikmah dari setiap bidang kajian ilmu yang dipelajarinya. Sejalan
dengan pemikiran tersebut diatas, Ibnu Jama’ah telah memberikan petunjuk dan
doringan yang sangat jelas bagi peserta didik, yaitu agar tekun dan benar-benar
giat dalam mengasah kecerdasan akalnya, serta menyediakan waktu-waktu tertentu
untuk mengembangkan daya inteleknya.
c. Materi
Pelajaran/Kurikulum
Materi pelajaran yang dikemukakan
Ibnu Jama’ah terkait dengan tujuan belajar, yaitu semata-mata menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah SWT, dan tidak untuk kepentingan mencari dunia atau
materi. Sejalan dengan tujuan tersebut diatas, maka materi pelajran yang
diajarkan harus dikaitkan dengan etika dan nilai-nilai spiritualitas.
Dengan demikian, ruang lingkup
epistimologi persoalan yang dikaji oleh pesrta didik menjadi meluas, yaitu
meliputi epistimologi kajian keagamaan dan epistimologi diluar wilayah
keagamaan (sekuler). Namum demikian wilayah kajian sekuler tersebut harus
senantiasa mengacu kepada tata nilai religi. Namum demikian, Ibnu Jama’ah lebih
menitikberatkan pada kajian materi keagamaan. Hal ini antara lain terlihat pada
pandangannya mengenai urutan matrei yang dikaji sangat menampakkan materi-materi
keagamaan. Urutan mata pelajaran yang dikemukakan Ibnu Jama’ah adalah pelajaran
Al-quran, tafsir, hadits, ulum al-hadits, ushul al-fiqh, nahwu dan shorof.
Setelah itu dilanjutkan dengan pengembangan-pengembangan bidang lain dengan
tetap mengacu kepada kurikulum diatas. Menurut Ibnu jama’ah, bahwa kurikulum
yang penting dan mulya haruslah didahulukan dengan kurikulum lainnya. Ini
artinya bahwa pesrta didik dapat melakukan kajian terhadap kurikulum diatas
secara sistematik.[14]
Ibnu Jama’ah memprioritaskan
kurikulum Al-Qur’an daripada yang lainya. Mengedepankan kurikulum ini agaknya
tepat. Karena sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum
Al-Qur’an merupakan ciri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam
dengan pendidikan lainya. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun
sesuai dengan Al-Qur’an Al-Karim, dan ditambah dengan Al-Hadits untuk
melengkapinya.[15]
d. Metode
Pembelajaran
Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode
pembelajaran banyak ditekankan pada hafalan daripada dengan metode lain. Metode
hafalan memang kurang memberikan kesempatan pada akal untuk mendayagunakan
secara maksimal proses berfikir, akan tetapi, hafalan sesungguhnya menantang
kemampuan akal untuk selalu aktif dan konsentrasi dengan pengetahuan yang didapat.
Dalam metode menghafal Ibnu Jama’ah
mengatakan hendaknya membagi waktu siang dan malamnya[16].
¨ Waktu
terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.
¨ Waktu
terbaik untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah diawal pagi.
¨ Waktu
terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.
¨ Waktu
terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.
Selain metode ini, beliau juga
menekankan tentang pentingnya menciptakan kondisi yang mendorong kreativitas
para siswa, menurut beliau kegiatan belajar tidak digantungkan sepenuhnya
kepada pendidik, untuk itu perlu diciptakan peluang-peluang yang memungkinkan
dapat mengembangkan daya kreasi dan daya intelek peserta didik.
e. Lingkungan
Pendidikan
Para ahli pendidikan sosial umumnya
berpendapat bahwa perbaikan lingkungan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan
tujuan-tujuan pendidikan. Sejalan dengan hal diatas Ibnu Jama’ah memberikan
perhatian yang besar terhadap lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik
adalah lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan
yang ada batas-batasnya.
Lingkungan memiliki peranan dalam
pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan
yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang
mencerminkan nuansa etis dan agamis.[17]
3. Pandangan
Ibnu Jama’ah tentang imbalan dan sanksi
Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap
pendidikan anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian guru dapat
mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu
Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal
ini perlu dijelaskan oleh guru bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan
keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya. Ibnu Jama’ah
sangat menghindar dari penerapan sanksi yang dapat menodai kemuliaan manusia
dan merendahkan martabatnya.
Jadi sanksi itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku
serta pengendaliannya dengan kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan
landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan
kebencian dan kemarahan.
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa sanksi kependidikan
dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak
dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan tersebut[18];
a. Melarang
perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya.
b. Jika
anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal
dengan isyarat.
c. Jika
anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras,
agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.
d. Jika
anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak
memperdulikannya[19].
4. Karya
Tulis Ibn Jama’ah
Karya-karya
Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi,
ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh. Adapun diantaranya
adalah;
·
في علوم القرآن
كشف المعاني عن متشابه المثاني-ط/ق
·
في العقيدة
الرد على المشبهة-خ
·
في الفضائل والسلوك
. الطاعة في فضيلة صلاة الجماعة-
·
في علوم الحديث
الفوائد الغزيرة المستنبطة من حديث بريرة-خ
·
في الفقه وقواعد الأحكام
العمدة في الأحكام-خ
·
في الفلك
رسالة في الكلام على الإسطرلاب-خ
·
في السيرة والتاريخ
2 أراجيز في
قضاة مصرقضاة دمشق والخلفاء-خ
·
في اللغة
. مقدمة في
النحو-خ
·
في آداب البحث والتربية
. تنقيح
المناظرة في تصحيح المخابرة-خ
. تذكرة السامع
والمتكلم في آداب العالم والمتعلم-ط/ق
Kitab Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallimin fi Adab
al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep
pendidikan.[20] Yang
Terdapat lima (5) Bab:
a. Bab
I Tentang keutamaan ilmu dan para ulama
serta keutamaan mempelajari ilmu dan mengajarkannya
b. Bab
II Tentang adab seorang pendidik terhadap dirinya, menjaga/atensi peserta
didik dan pelajarannya
c. Bab
III Tentang adab seorang peserta didik terhadap dirinya, menjaga/atensi pendidik
dan pelajarannya
d. Bab
IV Tentang adab terhadap kitab-kitabnya
e. Bab
V Tentang adab tserhadap lingkungan pendidikan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Nama
lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn
Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir,
pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul Akhir, 639 H./ 1241 M., dan wafat pada
pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333
M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan
1 hari.
2. Konsep
pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam
karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa
al-Muta’allim. Dalam buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan
ilmu pengetahuan dan orang yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu
Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut : 1.Konsep Guru/Ulama 2.Peserta
Didik 3.Materi Pelajaran/Kurikulum 4.Metode Pembelajaran 5.Lingkungan
Pendidikan Karya-karya Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah
pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul
al-Fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
· Abdullah Mustofa,2001.Pakar-pakar Fiqh
sepanjang sejarah. Yogyakarta: LKPSM
· Abuddin Nata. 2001. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
·
Al-Qadhi
Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani.2005. Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi
Adabil ‘Alim wal Muta’allim, (Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
· Azis
Asmana.2011. Adab Pendidik dan Peserta Didik (Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Jama’ah). Garut
· Heri Jauhari
Muchtar. 2005. Fikih Pendidikan . Bandung: Remaja Rosdakarya
· Muhamad Fatih Rusydi Syadzili. Tinjauan Filosofis Anak Didik. (www.academia.edu). hlm 13 Lihat. Abd Al-Amir Syams Al-Din, Al-Madzhab Al-Tharbawi ‘Inda
Ibnu Jama’ah (Beirut: Dar Iqra’, 1984)
· Muhammad Said
Husain.1995. Ibn Jam’ah’s Educational Thought. Canada: Institute of
lslamic Studies, McGilI University
· Ramayulis,1994.
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia
· Suwendi, M.ag,2004. Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
[1] Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani.
Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim
wal Muta’allim, (Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2005 ) hal. 21
[2] Ibid. hal.
25-26
[3] Muhammad Said
Husain, Ibn Jam’ah’s Educational Thought. (Canada: Institute of lslamic
Studies, Mc GilI University, 1995) hlm. 9
[4] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
hlm.111-112
[5][5] Azis Asmana. Adab Pendidik
dan Peserta Didik (Konsep Pendidikan Islam Menurut Ibnu Jama’ah). (Garut, 2011)
[6]Abdullah
Mustofa, Pakar-pakar Fiqh sepanjang sejarah. (Yogyakarta: LKPSM, 2001)
[9] Suwendi, M.Ag, Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada :2004)hal.44-46
[10] Ibid. hlm:48-49
[11] Ibid.
Azis Asmana
[12] Muhamad Fatih Rusydi
Syadzili. Tinjauan Filosofis Anak Didik. (www.academia.edu). hlm 13 Lihat.
Abd Al-Amir Syams Al-Din, Al-Madzhab Al-Tharbawi ‘Inda Ibnu Jama’ah (Beirut:
Dar Iqra’, 1984), hlm. 28-40
[13] Heri Jauhari
Muchtar, Fikih Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.106
Komentar