ETIKA PROSES PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN (PRESPEKTIF TASAWUF)
Perkembangan ilmu pengetahuan modern di
satu sisi lain menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi
ini. Penciptaan senjata – senjata pemusnah massal, seperti senjata biologi,
kimia dan nuklir jelas ditunjukkan untuk memusnahkan manusia. Di samping itu
kemajuan ilmu pengetahuan telah memungkinkan kegiatan industri dapat menguras
sumber daya alam yang sebesar-besarnya, yang kemudian merusak lingkungan hidup
dan mengancam kelangsungan hidup manusia. Allah berfirman QS. Al – A’raaf: 56
56. dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Kenyataan itu menyadarkan kita tentang
perlunya etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Selama ini berkembang suatu
asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, tetapi kenyataannya tadi
menunjukkan bahwa netralitas nilai ilmu pengetahuan tidak dapat dipertahankan
lagi.
Menurut Jalaluddin Rahmat, etika harus
dipertimbangkan dalam setiap tahap proses ilmiah, Yang meliputi pemilihan masalah ilmiah,
penelitian ilmiah, keputusan ilmiah (teknologi)[1]
Ilmuwan harus memutuskan, pemilihan masalah
ilmiah itu penting buat siapa? Buat dirinya, buat negaranya, buat dunia bisnis,
buat umat manusia keseluruhan? Bolehkah suatu penilitian ilmiah dijalankan
dengan mengorbankan orang-orang pada masa ini, tetapai memberikan kebahagiaan
generasi masa depan atau kebahagiaan generasi sekarang, walaupun mengorbankan generasi
mendtang?. Pertanyaan – Pertanyaan itu harus dijawab dengan melibatkan
pertimbangan – pertimbangan nilai, dengan kata lain harus merujuk pada etika.
Paling tidak sebagai peneliti ilmiah ia
harus mempertahankan kejujuran, keterbukaan dan kesungguhan hati, menghindari
manipulasi data (dalam arti negatif), pemalsuan informasi, dan sebagainya, yang
meruntuhkan nilai sains itu sendiri.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana
engembangkan etika bagi proses ilmiah? Dalam islam etika secara praktis
diajarkan oleh tasawuf.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian
Etika adalah ilmu yang membahas atau
menyelidiki nilai dalam tindakan moral: pengkajian soal keakhlakan atau
moralitas.[2]
Dhunnun
al-Misri, seorang sufi yang terkemuka, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
tasawuf ialah pembebasan dari ragu dan putus asa, kemudian tegak berdiri
beserta yakin iman[3].
b. Perbuatan Manusia Kegiatan Proses
Ilmu Pengetahuan
Tasawuf mengajarkan bahwa perbuatan manusia termasuk
kegiatan proses ilmiah, di dorong oleh bisikan hati. Itu sebabnya hati harus
dibersihkan dari hal-hal yang buruk, kemudian diisi dengan hal-hal yang baik,
maka bisikan hatinya juga akan baik pula. Sebaliknya bila hati terbiasa dengan
hal-hal yang buruk, maka bisikan hatinya menjadi buruk, yang kemudian
mendorongnya kepada perbuatan buruk pula.
Sebagaimana halnya tubuh, hati juga dapat berbuat.
Menurut Imam Al Ghozali, ada empat tahap perbuatan hati manusia, Ia menjelaskan:
1.
Terlintas dalam hati adalah bisikan
kepada sesuatu, seperti wanita yang sedang berjalan di belakang seseorang yang
jika ia menoleh kepadannya, ia akan melihatnya.
2.
Bergerak hasrat untuk melihat wanita
itu, yang merupakan gerakan nafsu. Ini berasal dari bisikan pertama yang
merupakan kecenderungan alamiah
3.
Keputusan hati bahwa dia harus
melakukannya, yakni elihat wanita itu. Jika karakter orang itu netral, maka
hasratnya tidak akan bangkit selama ada factor pengalih perhatian, seperti rasa
malu atau takut. Kondisi ini disebut proses peyakinan diri sebagai kelanjutan
dari bisikan.
4.
Tekad untuk melihatnya dan melakukan
sesuatu kepadanya, dan ini kami sebut keinginan, niat atau maksud untuk
berbuat.
Dengan demikian, ada empat tahap perbuatan hati yaitu:
bisikan, kecenderungan, peyakinan diri dan niat. Allah mendorong manusia untuk
berbuat baik dengan memberi pahala pada setiap tahap perbuatan hati yang
apabila berkenaan dengan kebaikan. Sebaliknya Allahi tidak menjatuhkan dosa
pada setiap tahap perbuatan hati jika hal tersebut berkaitan dengan keburukan.
Dosa hanya muncul kalau niat atau maksud hati itu direalisasikan oleh tubuh.
Maka jelaslah bahwa praktek tasawuf didorong oleh bisikan
hati atau intuisi, sedang proses ilmiah didasarkan pada pengalaman empiris atau
indera. Kedua hal ini tidaklah bertentangan, karena dari diri yang sama, yaitu
manusia. Karena itu etika sebagai manifestasi bisikan hati yang baik tidak
bertentangan dengan proses ilmiah, akan tetapi keduanya saling memperkuat untuk
keutuhan dan kebaikan manusia. Inilah salah satu makna penting tasawuf dalam
perkembangan ilmu pengatahuan modern.
c.
Kontribusi Metode Intuitif
Dari perspektif epistemologi Islam, metode untuk
mengetahui objek-objek ilmu tidak hanya terbatas pada metode observasi (bayani),
dan metode demonstratif (burhani), tetapi juga metode intuitif (irfani),
untuk menangkap objek-objek non fisik atau metafisika melalui kontak langsung. Namun sains modern cenderung menolak eksistensi
transendental, seperti Tuhan, malaikat, surga dan neraka, sehingga sebagai
konsekuensinya metode intuitif pun tidak diakui. Eksistensi realitas gaib yang
dapat disibak melalui pengalaman mistikal seringkali oleh para saintis (ilmuan) modern diklaim
sangat bersifat subyektif-spekulatif, dan karenanya hakikat pengalaman ruhani
tersebut dianggap tidak memiliki basis objektif-ontologisnya.
Menurut Hamka, ia secara eksplisit masih menggunakan tiga
tahapan sufisme klasik yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Jika telah melalui takhalli, menjauhkan diri dari
maksiat, dan tahalli menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia dan terpuji,
maka tajalli, fenomena transendental akan tersingkap. Meminjam artikulasi
Hamka, dalam tajalli seseorang akan mampu melakukan kontaks ruhaniah secara
langsung dengan Tuhan.
Pada tataran ini, tasawuf moderat Hamka secara tidak langsung bisa
memainkan peran intelektual atau keilmuan yakni dalam ranah metode intuitif.
Secara faktual, metode intuitif tersebut mesti dihadirkan kembali secara
integral dalam ranah ilmu pengetahuan dewasa ini agar metode-metode ilmiah
tidak timpang hanya mengenal realitas objektif-empirikal dan rasional, namun
melupakan eksistensi meta-empirikal dan supra-rasional. Hal ini disebabkan
dalam diri manusia tersimpan potensi ontologis yang tidak terbatas untuk
mengaktualisasikan seluruh asma Tuhan secara faktual[4].
d. Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa)
dalam proses pengembagan Ilmu Pengetahuan
Proses ilmiah dimulai ketika ilmuan menyeleksi
fenomena alamiah untuk ditelaah. Hal yang akan diseleksi ditentukan oleh
konsepsinya tentang apa yang penting dan mengapa fenomena tertentu bermakna.
Oleh karena itu, Ilmuwan harus memutuskan, pemilihan masalah
ilmiah itu penting buat siapa? Buat dirinya, buat negaranya, buat dunia bisnis,
buat umat manusia keseluruhan? Bolehkah suatu penilitian ilmiah dijalankan
dengan mengorbankan orang-orang pada masa ini, tetapai memberikan kebahagiaan
generasi masa depan atau kebahagiaan generasi sekarang, walaupun mengorbankan
generasi mendatang?.
Pertanyaan – Pertanyaan itu harus dijawab dengan melibatkan pertimbangan –
pertimbangan nilai, dengan kata lain harus merujuk pada etika.
Disamping merujuk pada etika, seorang ilmuwan perlu
adanya Tazkiyatun Nafs guna dalam
memulai upaya ilmiah Ia telah didorong untuk tujuan-tujuan tertentu yang pada
akhirnya adalah kembali untuk mencari ridho Allah, yang mana hal tersebut
direalisasikan dalam bentuk kemaslahatan ummat manusia. Dan dengan hal ini maka
kemudian menjadi sumber yang darinya mengalir semua amal kebaikan dan
pikiran-pikiran baik, disamping itu
penyucian jiwa itu mustahil dilakukan tanpa mengamalkan pengekangan
diri, kerja keras dan kesungguh-sungguhan, sebagaimana dikatakan:
Duhai ! Barang siapa tidak
berusaha keras, maka ia tidak akan pernah dapatkan perbendaharaan.[5]
Adapun sebuah syair Imam As-Syafi’i:
Saya mengadu kepada kyai
waqi’ tentang hafalan saya yang kurang baik
Maka beliau memberi
petunjuk (solusi) kepadaku untuk meninggalkan (meminimalisir) ma’shiat.
Dan memberi tahu kepadaku
bahwasanya ilmu itu adalah cahaya Allah
Dan cahaya Allah tidak
akan diberikan kepada orang yang berma’shiat
Oleh karena itu jelaslah bahwasannya dalam proses pengembangan ilmiah
sangatlah dibutuhkan penyucian jiwa guna mendapat ilmu Allah yang hanya akan
diberikan kepada orang yang bersih jiwanya. J
1.
Ikhlash
Hendaklah seorang pencari ilmu selalu mengoreksi dan
memperbaiki niyatnya, beramal untuk-Nya, menghidupkan syariat-Nya, menerangi
hati dan batinya dan selalu taqarub kepada Allah.
2.
Menjaga diri secara lahir dan batin
dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah
3.
Fikiran dan hatinya konsentrasi
kepada ilmu, Singkirkan rintangan dan kebiasaan buruk, kebiasaan
bermalas-malas, bersantai ber-mental cengeng adalah rintangan seorang pencari
ilmu. Ini adalah betul-betul merupakan halangan. Ada tiga hal yang akan
merintangi perjalanan manusia kepada Allah: 1. Syirik 2. Bid’ah 3. Maksiat.
Syirik akan tumbang dengan Tauhid, Bid’ah akan tumbang dengan Sunnah dan
maksiat akan tumbang dengan taubat.
4.
Selalu berhati-hati dalam masalah
makan
Rosulullah
bersabda : Sesungguhnya syetan betul-betul berjalan mengalir lewat aliran darah
manusia, maka persempitlah aliran darah itu dengan cara berlapar-lapar, agar
syetan tidak bisa masuk. (Hadits Riwayat
Ahmad)
5.
Sedikit
tidur dan bicara
6.
Mengurangi
pergaulan jika perlu dan selektif memilih kawan
7. Mengurangi pergaulan jika perlu dan
selektif memilih kawan
8. Memilih ilmu yang dibahas dan siapa
pengajarnya / Syeikhnya
9.
Menjaga
adab terhadap kitab
Adapun cara untuk memperoleh ilmu kecuali dengan 6
perkara yaitu : Cerdas, keinginan yang
kuat, usaha, ada dana, berguru dan memakan waktu yang
lama.[6]
C. PENUTUP
Dalam semua proses ilmiah peranan etika sangat jelas
dalam ilmu terapan atau teknologi. Teknologi selalu sarat nilai dan berkaitan
dengan pertanyaan: untuk apa, siapa yang menerapkan teknologi, dan untuk siapa?
Peranan etika dalam proses ilmiah akan makin jelas
bila diingat bahwa ilmuwan memiliki tanggung jawab social dan fungsi edukatif,
yaitu mendidik anggota masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan
rasional, memberikan peringatan kepada mereka bila melihat ada bahaya-bahaya
yang mengancam kehidupan mereka, dan memonitor dampak sains dan teknologi serta
menyampaikan hasil monitoringnya kepada masyarakat. Oleh sebab itu etika harus
dipertimbangkan dalam setiap tahap proses ilmiah, Yang meliputi pemilihan masalah ilmiah,
penelitian ilmiah, keputusan ilmiah (teknologi)
Dan dalam
menuntu ilmu hendaklah memperhatikan Adab dan Tata Cara Menuntut Ilmu:
Ikhlash, Menjaga diri
secara lahir dan batin dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah, Fikiran
dan hatinya konsentrasi kepada ilmu, Selalu berhati-hati dalam masalah makan, Sedikit tidur dan
bicara, Mengurangi pergaulan jika perlu dan selektif memilih kawan, Mengurangi
pergaulan jika perlu dan selektif memilih kawan, Memilih ilmu yang dibahas dan
siapa pengajarnya / Syeikhnya, Menjaga adab terhadap kitab.
Disamping itu ada 6 perkara untuk mendapatkan ilmu yaitu : Cerdas, keinginan yang kuat, usaha,
ada dana, berguru dan memakan waktu yang
lama.
DAFTAR PUSTKA
·
Valiudin, Mir. 2000. ZIKIR DAN KONTEMPLASI DALAM TASAWUF, Bandung:
Pustaka Hidayah
·
Al Barry, M. Dahlan. 2003. KAMUS INDUK ISTILAH ILMIAH. Surabaya: Target Press
·
Tebba, Sudirman. 2003.TASAWUF
POSITIF. Jakarta: Kencana
Komentar